Saat itu baru pukul tujuh malam, tapi jalanan di
Sittwe, ibukota negara bagian Rakhine, Burma, sudah sepi. Jam malam berlaku di
enam daerah di negara bagian ini, sejak Agustus 2012, mulai pukul tujuh malam
hingga lima pagi.
Barikade bambu,
membatasi aktivitas warga Rohingya, dibuat Pemerintah Burma di Sittwe. Mereka
berkilah, langkah ini untuk mencegah aksi kekerasan lanjutan antarkelompok
etnis. Pemerintah pun menyatakan tak bisa melindungi orang Rohingya yang keluar
barikade.
"Kami tidak bisa bekerja, atau bahkan ke rumah
sakit. Anak-anak kami tidak bisa pergi ke sekolah," tutur Aung Win,
seorang warga komunitas Rohingya di Sittwe. Untuk masuk ke rumah saja, dia
harus lewat pintu gerbang tetangganya. Kondisi yang mereka jalani setidaknya
empat bulan terakhir.
Sedikitnya 100 orang tewas, dalam bentrokan terakhir
antara komunitas Muslim dan Budha di Rakhine, akhir Oktober 2012. Ratusan rumah
di sejumlah desa terbakar, dan puluhan warga harus mengungsi.
Pemerintah Burma bersikukuh menolak mengakui orang
Rohingya sebagai warga negaranya. Tujuh ribu orang Rohingya kini tinggal di
rumah mereka yang terkepung barikade bambu, dan selebihnya hidup di kamp
pengungsi.
Orang Rohingya yang bertahan di balik barikade bambu,
juga terus mengalami perlakuan buruk. Termasuk saat pergi ke pasar. "Saat kami masuk pasar, sekelompok orang akan
berteriak 'kalar datang', lalu menyerang dan memukuli kami dengan tongkat
sampai kami pingsan," tutur Salar Yar (22 tahun). Di Burma, 'kalar'
merujuk orang berkulit hitam, sebuah konotasi untuk orang Rohingya atau India.
Berharap ada damai
Memang, tidak semua warga Budha Rakhine memperlakukan
orang Rohingya dengan buruk. U Aung Win mengakui hal ini. Pada kerusuhan
pertama, Juni 2012, dia mendapat perlindungan dari beberapa teman warga
Rakhine. Juga mendapatkan pasokan bahan makanan.
Memberi bahan makanan seperti mi dan kopi instan,
mungkin terlihat sederhana. Walaupun, menurut Aung, bahan makanan seharga Rp 40
ribu itu terasa sangat mahal untuk mereka. Tapi, baru-baru ini para biksu
Rakhine mengimbau pemberian julukan 'pengkhianat bangsa' untuk warga Rakhine
yang bersimpati pada komunitas Rohingya.
Bahkan, Presiden Burma, Thein Sein, menyatakan
Pemerintah siap menyerahkan semua orang Rohingya pada negara ketiga yang mau
menerima. Namun, bagi U Aung Wi dan banyak orang Rohingya di Rakhine, Burma
sudah menjadi 'rumah' mereka.
"Rumah saya di sini, demikian pula anak-anak
saya. Saya lahir dan besar di sini, saya akan tinggal sampai maut
menjemput," ujar Aung. Dia merasa hubungannya dengan orang Rakhine
baik-baik saja. Menurut dia, yang dibutuhkan adalah diskusi untuk mencari
solusi persoalan. Dia pun berharap Pemerintah tak mencampuradukkan situasi di
Rakhine dengan kepentingan politik.
Di Desa Thae Chuang, sekitar dua kilometer Sittwe,
masyarakat Budha Rakhine nyatanya bisa hidup damai dengan orang Rohingya.
"Kami bersahabat, kami menjual dan membeli barang satu sama lain, kami
tidak punya masalah," tutur Saw Hlaing (20), pemeluk Budha Rakhine di Thae
Chuang.
Sebelum aksi kekerasan terjadi, kata Saw, warga Budha
Rakhine dan Muslim Rohingya sering berkumpul bersama. "Sampai sekarang
kami tetap berteman," ujar dia. Desa Thae Chuang, ada di pinggiran Sittwe,
di tengah beberapa desa berpenduduk warga Rohingya. Di desa ini, warga Budha
Rakhine adalah minoritas.
Harapan damai juga dilontarkan Ma San Yin (50), warga
Budha Rakhine di Thae Chuang yang berdagang barang-barang kebutuhan pokok.
Kebanyakan pembeli dagangan Ma adalah orang Rohingya. "Saya tidak suka
dengan ide balas dendam. Kami ingin jalan keluar bagi kedua pihak, kami ingin
hidup damai karena damai baik bagi semua orang," harap dia.
Asia Calling / Palupi Auliani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar