Tabir Kepalsuan Air Mata Untuk Jokowi
Rabu,15
April 2015,01:10:52
"Saya sulit membayangkan, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan kelompoknya demi secuil kekuasaan terpaksa harus melacuri diri di jalan kejahatan berdemokrasi. Sebuah bentuk prilaku busuk yang dihasilkan oleh gelora politik yang menjijikan dan tanpa rasa malu," by. Faizal Assegaf.
Masih hangat dalam ingatan kita, saat Joko Widodo
(Jokowi) diumumkan sebagai pemenang Pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU),
saat itu Megawati Soekarnoputri mengucapkan selamat kepada Jokowi seraya
berlinang air mata. Mega menitipkan pesan moral perjuangan bagi Jokowi, seakan
sebuah petuah dan wejangan sejati dari seorang negarawan. Suasana larut dalam
keharuan. Gaung kemenangan rakyat digadang-gadangkan. Publik dilenakan dengan
opini kemenangan rakyat.
Haru-biru mewarnai akhir sebuah pesta Demokrasi.
Kemenangan yang ditutup dengan sajian konser "Salam Tiga Jari", yang
konon diartikan sebagai sila ketiga ideologi bangsa, Pancasila, Persatuan
Indonesia. Rakyat terhanyut dalam pesta kongres itu. Mereka tak tahu, apa yang
akan terjadi dan bagaimana pemerintahan Jokowi akan berjalan.
Enam bulan lamanya Jokowi memimpin negeri. Tangis
Megawati yang dulu, kini terkuak seiring berjalannya waktu. Megawati yang
menghembuskan semangat perjuangan rakyat, ternyata hanya sebuah kepalsuan dan
kebohongan semata. Mega jelas memanfaatkan Jokowi sebagai budak nafsu
kekuasaan, keserakahan dan ketamakannya.
Dulu, diberbagai kesempatan Mega berpidato berapi-api
mengobarkan semangat perjuangan hingga mulut berbusa-busa menegaskan bahwa dia
sangat menentang berbagai bentuk korupsi dan praktek politik kotor. Dengan
berani, Mega mengkritik proses pemilu yang tengah berlangsung sarat dengan
kecurangan, politik uang, manipulasi data IT dan dituding telah ditunggangi oleh
kepentingan asing dan pemilik modal besar.
Namun ucapan-ucapan Megawati hanyalah retorika kosong
dan inkonsisten. Bahkan justru yang terjadi sebaliknya, terbukti mengais jalan
keuntungan dari bobroknya pelaksanaan pemilu sebagai sebuah kesempatan untuk
ikut melanggengkan kecurangan di depan mata rakyat.
Ihwal perilaku Megawati yang inkonsisten dan sikap
munafik telah menjadi watak bawaan dan sekaligus modal politiknya untuk tetap
melenggang bebas di panggung politik nasional. Tak peduli benar atau salah,
yang penting dapat mengais "jatah haram" dengan berbagai cara melalui
akal bulusnya untuk menipu rakyat.
Prestasi puncak dari tabiat ironi Megawati kian
menjadi-jadi di perhelatan pilpres 2014. Yakni, berawal dari skandal
pengingkaran "perjanjian Batu Tulis" terhadap Prabowo Subianto yang
berujung pada tukar guling kepentingan politik pragmatis berupa pemberian
mandat PDIP kepada Jokowi sebagai capres bonekanya.
Dari alur politik yang menyesatkan itu, Megawati
tampil menghimpun berbagai kepentingan yang sejalan dengan ambisinya. Memoles
rupa penampilan pencitraan Jokowi sebagai capres boneka untuk dipaksakan menang
dalam sebuah proses pemilu yang curang dan tidak berkualitas.
Hasilnya, Jokowi bergerak lincah di atas kebohongan
berdemokrasi, kian melaju mengejar ambisinya sebagai orang nomor satu di negeri
ini. Drama politik ala capres boneka, spontan menyiram rasa haru dan puja-puji
atas nama dukungan fanatik membabi-buta dari pengusung setianya.
Dan menariknya, Megawati selaku dalang di balik kisah
politik Jokowi karbitan yang serba instan tersebut sangat larut menikmati semua
bentuk kebohongan yang dilakukan. Tak heran, saat KPU memaksakan keputusan untuk memenangkan
Jokowi melalui pemilu curang, Megawati dan komplotan pengusung capres boneka
membalas dengan senyum, sembari meneteskan air mata di hadapan publik.
Situasi itu membuat berjuta pemirsa di tanah air
menyindir: "para badut politik sedang euforia merayakan kemenangan dusta
Jokowi melalui kebohongan berdemokrasi...". Sungguh memalukkan !
Penulis :
Biren/Suara Aktifis.com